Minggu, 13 Desember 2015

TARJIH



MAJLIS TARJIH DAN TAJDID: MANHAJ  DAN APLIKASINYA*

Oleh: Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.**


Bismillah al-Rahman al-Rahim

A. Pendahuluan

Sebagai sebuah organisasi Islam yang sangat besar, Muhammadiyah banyak menarik minat orang. Latar belakang ketertarikan tersebut bermacam-macam dari yang bersifat ideologis, sampai  yang bercorak pragmatis, dari yang sakral  sampai yang profan. Bagi mereka yang tertarik dan menjadi bagian organisasi ini yang memandang Muhammadiyah sebagai  ideologi keagamaan yang sakral, segala bentuk formalitas  organisatoris merupakan suatu yang sekunder bukan primer. Bagi mereka ini yang bersifat primer adalah ideologi keagamaan Muhammadiyah itu sendiri, dalam arti bahwa jalan kebenaran adalah semata-mata mengikuti teladan Nabi Muhammad saw, mengingat muhammadiyyah itu sendiri berarti upaya menisbatkan diri kepada beliau, sebagai antitesa terhadap segala penisbatan diri kepada yang lain, seperti Malikiyyah, Syafi’iyyah dan sebagainya. Tentu saja disamping ini ada pula yang tertarik dan menjadi bagian warga Muhammadiyah bukan karena latar belakang ideologi keagamaan ini.
Oleh karena esensi dari gerakan Muhammadiyah adalah menyampaikan ideologi keagamaan tersebut, maka  lebih penting menjadikan ideologi ini sebagai ukuran kemuhammadiyahan seseorang dari pada ukuran formalitas organisatoris. Hal ini juga berarti bahwa upaya untuk menyebarkan, menjelaskan dan menanamkan ideologi ini jauh lebih penting dari pada  mengurus formalitas organisatoris. Kegagalan menanamkan ideologi ini, menyebabkan Muhammadiyah  kehilangan esensinya, kemudian yang tinggal hanya dimensi lahiriahnya belaka. Upaya untuk memelihara ideologi keagamaan Muhammadiyah ini kemudian dilembagakan dengan membentuk Majlis Tarjih yang dalam perkembangan terakhir sejak mu’tamar ke 43 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Pada Mu’tamar berikutnya, berganti menjadi Majlis Tarjih dan Tajdid.
Dalam kontek demikian, menjadi sangat penting bagi warga Muhammadiyah untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan majlis tersebut, lebih-lebih jika warga tersebut adalah para pendidik yang bertugas di institusi pendidikan Muhammadiyah. Bagi mereka yang berada diluar Muhammadiyah jika ingin memahami organisasi ini, kiranya juga penting untuk memahami majlis ini, sebagai élan vital dan ruh Muhammadiyah itu sendiri. 

B. Sejarah Singkat Majlis Tarjih dan Tajdid[1]
Dalam Konggres Muhammadiyah ke-16 pada tahun 1927 di Pekalongan KH Mas Mansur al-Marhum yang ketika itu menjabat sebagai konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya mengusulkan agar didirikan semacam majlis ulama yang secara khusus bertugas membahas masalah-masalah agama.  Usul tersebut berdasarkan pertimbangan adanya kekhawatiran timbul perpecahan di kalangan orang-orang Muhammadiyah , terutama ulama’nya karena perbedaan paham dalam masalah-masalah hukum agama. Perbedaan-perbedaan demikian sebagaimana terbukti dalam sejarah telah menyebabkan pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam, terutama ulama’nya sehingga timbullah madzhab-madzhab dan kefanatikan terhadapnya, sehingga meretakkan ukhuwah Islamiyah dan menghancurkan persatuan umat Islam. Beliau juga khawatir kalau Muhammadiyah sampai menyimpang dari hukum agama, karena mengejar kebesaran lahiriyah mengabaikan tujuan utamanya. Akhirnya usul tersebut diterima secara aklamasi, dan sejak itulah berdiri Majlis Tarjih - yang kemudian dalam Mu’tamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam -  sampai sekarang ini.
Dalam Muktamar Muhamadiyah ke-17 pada tahun 1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat yang diketuai oleh  KH. Mas Mansur dan disekretarisi oleh  Kh. Aslam Z. dilengkapi dengan beberapa anggota pengurus. Dibuat pula anggaran dasar atau qaidahnya antara lain berbunyi: Bahwa Tugas Majlis Tarjih adalah:
1.      Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama.
2.      Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum  masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang penting dalam perjalanan Muhammadiyah.
3.      Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan al-Quran dan al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqh yang dipandang mu’tabar, dan mementingkan riwayat dan maknanya; tidak mengutamakan aql di atas naql.
Sejak itu  dilakukan identifikasi terhadap berbagai masalah agama, seperti masalah ushalli,  gambar, alat al-malahi (musik), kenabian sesudah Nabi Muhammad saw. dalam kaitannya dengan klaim Ahmadiyah Qadhiyan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah adalah seorang nabi, dan sebagainya.
Muktamar Tarjih yang pertama diadakan pada tahun 1929 bersama-sama dengan Konggres Muhammadiyah ke-18 di Solo.  Masalah-masalah yang telah teridentifikasi tersebut, kemudian dibahas dalam muktamar yang pertama ini, selanjutnya sisanya dikaji dalam muktamar-muktamar berikutnya. Adapun masalah pertama yang diputuskan kemudian disusun manjadi kitab, ialah kitab iman dan  sembahyang, kemudian disusul masail syatta (macam-macam masalah) seperti masalah gambar, musik, lotre, api unggun, arak-arakan Aisyiyah dan sebagainya. Demikian muktamar-demi muktamar – belakangan diubah dengan istilah musyawarah nasional – dilakukan sehingga menghasilkan Himpunan Putusan Tarjih, dan Qaidah-qaidahnya dan termasuk Qaidah Pengembangan Pemikiran Islam.
Struktur Majlis  tersebut mengalami beberapa kali perubahan. Sedang sekarang ini Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) secara struktural terdiri dari MTPPI Pusat, Wilayah, dan Daerah.  Masing-masing berfungsi sebagai pembantu - dan oleh karena itu berada di bawah - Pimpinan Muhamadiyah sesuai dengan tingkatannya.

C. Manhaj al-Istinbath Majlis Tarjih
Dari sudut pandang filosofis, cara-cara memperoleh hukum Islam merupakan kajian epistemologi. Sedang hakikat hukum Islam dibahas dalam ontologi. Adapun kugunaannya, merupakan wilayah pembahasan aksiologi.  Hukum Islam itu sendiri, meliputi:
1.      Syari’at
2.      Fiqh.
3.      Fatwa Ulama.
4.      Hukum Produk Institusi Islam.
5.      Pranata Hukum di Masyarakat Islam.
Epistemologi hukum Islam dikaji dalam ilmu Ushul al-Fiqh dan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Disamping itu secara langsung atau tidak, juga dikaji melalui ‘Ulum al-Quran dan ‘Ulum al-Hadits, bahkan juga melibatkan sejarah, seperti tampak dalam Tarikh al-Tasyri’. Dewasa ini, bahkan ada kecenderungan untuk juga melibatkan berbagai disiplin ilmu moderen sebagai sarana untuk memahami dan merumuskan cara-cara memperoleh hukum Islam.
Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Muhamadiyah telah merumuskan secara dinamis aspek metodologis tersebut dalam manhaj al-istinbathnya. Perumusannya dikatakan dinamis, karena senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan masa. Perumusan aspek metodologis tersebut, terakhir kali dilakukan dalam Munas Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 M. Di Jakarta. 

D. Outline Manhaj
1.      Pengertian Umum.
Bagian ini memuat pengertian ijtihad, maqashid al-syari’ah, ittiba’, taqlid, talfiq, tarjih, al-sunnah al-maqbulah, ta’abbudi, ta’aqquli, sumber hukum, qath’iyy al-wurud, , qath’iyy al-dalalah, dhanniyy al-wurud, dhanniyy al-dalalah, tajdid, dan pemikiran.
2.      Pengertian, Posisi, Fungsi, Ruang Lingkup, Metode, Pendekatan, dan teknik Ijtihad.
3.      Ta’arudl al-Adillah.
4.      Metode Tarjih terhadap Nashsh.

E. Catatan terhadap Manhaj

 1.  Dalam bagian Pengertian Umum, manhaj yang baru ini mengubah istilah al-sunnah al-shahihah, menjadi al-sunnah al-maqbulah sebagai sumber hukum sesudah al-Qur`an. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa secara obyektif, majlis tidak hanya menggunakan hadits kategori shahih, tetapi juga hasan. Dalam bagian ini juga dikemukakan bahwa Muhamadiyah membolehkan talfiq yaitu menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar’iy dengan syarat sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.           
2.      Manhaj menentukan posisi ijtihad sebagai metode bukan sumber hukum, sedang fungsinya adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Ini berarti bahwa jika syari’at dimaknai sebagai hukum yang secara langsung terdapat dalam kedua sumber di atas, maka ijtihad dipergunakan untuk merumuskan hukum yang tidak terdapat secara langsung dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dengan kata lain, ruang lingkup ijtihad meliputi masalah-masalah yang terdapat dalam  dalil yang dhanniy dan masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur`an dan atau al-Sunnah.
3.      Ijtihad meliputi metode bayani yaitu metode yang menggunakan kaidah kebahasaan; metode ta’lili, yaitu metode yang menggunakan pendekatan ‘illah hukum; dan metode istishlahi, yaitu metode yang menggunakan pendekatan kemaslahatan. Dalam hal ini manhaj tidak menjelaskan jika terjadi perbedaan hasil penetapan hukum terhadap satu masalah karena adanya penggunaan metode yang berbeda. Mana di antara ketiga metode tersebut yang diprioritaskan. Dalam hal ini sebaiknya, untuk perkara yang akal manusia tidak dapat menjangkau ‘illah dan kemaslahatannya, metode bayani harus diprioritaskan. 
4.      Manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, yaitu: hermeneutika, sejarah, sosiologis, dan antropologis.
5.      Sementara itu, ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, serta ‘urf, dipandang sebagai teknik penetapan hukum.  Manhaj tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang hal ini. Padahal, misalnya untuk ijma’, jika dipandang sebagai teknik,  maka berarti Muhammadiyah dapat memutuskan suatu hukum berdasarkan kesepakatan ulama-ulama persyarikatan. Ini tentu berbeda dengan pengertian ijma’ yang dikenal dalam ilmu ushul fiqh yang menuntut kesepakatan seluruh  ulama dalam suatu kurun waktu tertentu. Lain halnya jika ijma’ dimaknai sebagai produk kesepakatan semua  ulama dalam suatu kurun waktu, bukan sebagai teknik, maka produk tersebut mengikat warga Muhammadiyah. Sekalipun istihsan dan sadd al-dzari`ah tidak disebutkan, tampaknya tidak berarti keduanya tidak dipakai. Hal ini didasarkan adanya kenyataan bahwa keduanya juga didasarkan atas prinsip kemaslahatan yang dipandang sebagai salah satu metode penetapan hukum.
6.      Ta’arudl al-adillah menurut manhaj diselesaikan secara hirarkis melalui al-jam’u wa al-taufiq; al-tarjih; al-naskh; al-tawaqquf. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa dengan demikian Majlis Tarjih secara tidak langsung mengakui adanya nasikh mansukh. Mengenai urutan prioritas di atas, tampaknya perlu dipertimbangkan untuk mendahulukan naskh sebelum menyelesaiakan ta’arudl melalui tarjih, karena jika diketahui batas waktu berlakunya suatu hukum, maka dengan lewatnya waktu tersebut, berlakulah hukum sebaliknya secara otomatis. Dengan demikian tidak perlu lagi kepada tarjih.
7.      Tarjih terhadap nashsh harus mempertimbangkan beberapa segi:
a.       segi sanad ( kualitas dan kuantitas rawi, bentuk dan sifat periwayatan, sighat tahammul dan wa al-ada`
b.      segi matan (mendahulukan sighat nahy daripada amr; shighat khashsh daripada ‘am).
c.       segi materi hukum.
d.      Segi eksternal.
8.      Untuk hal-hal yang tidak diubah oleh manhaj hasil Munas Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 M di Jakarta, masih tetap berlaku. Hal-hal yang tidak diubah tersebut ialah:
a.       Mendasarkan akidah hanya kepada dalil mutawatir.
b.      Pemahaman terhadap al-Quran dan al-Sunnah dilakukan secara komprehensif dan integral.
c.       Peran akal dalam memahami teks al-Quran dan al-sunnah dapat diterima.
d.      Qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdlah dan masalah yang sudah ada nashsh sharihnya dari al-Quran dan atau al-Sunnah.
e.       Untuk memahami nashsh yang musytarak, paham shahabat dapat diterima.
f.        Mendahulukan makna dhahir daripada ta`wil dalam bidang akidah, dan ta`wil shahabat tidak harus (? Pen.) diterima.
g.      Takhshish al-Kitab bi al-Sunnah dapat diterima.
h.      Hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali yang dihukumi marfu’.
i.        Hadits mursal shahabiy dapat dijadikan hujjah.
j.        Hadits mursal tabi’iy semata tidak dijadikan hujjah, kecuali jika terdapat petunjuk adanya kebersambungan sanad.
k.      Hadits mudallas tidak dapat dijadikan hujjah , kecuali apabila ada petunjuk bahwa hadits tersebut muttashil.
l.        Hadits dlaif yang kuat menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalannya dan terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa hadits itu berasal dari Nabi saw. dan tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan hadits shahih.
m.    Jika terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil, didahulukan jarh dengan dasar keterangan yang jelas dan sahih menurut syara’.  
Sekalipun  sudah agak memadai manhaj  yang ditetapkan oleh Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, tetapi jelas masih diperlukan berbagai penyempurnaan dan kelengkapan yang dapat meliputi: koreksi terhadap adanya kontradiksi satu sama lain;  peninjauan kembali terhadap beberapa manhaj;  penjabaran lebih jelas dan luas; dan sebagainya.

F. Mekanisme Pengambilan Keputusan Majlis Tarjih dan Tajdid

Terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan dalam perspektif Islam, dibahas oleh majlis ini dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al-istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya, Hasil keputusan majlis ini, kemudian diajukan ke pimpinan Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya. Selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang   memiliki otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki. Jika  telah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut mengikat secara organisatoris terhadap warga Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya masing-masing, yakni tanfidz oleh pimpinan pusat, mengikat selurus warga Muhammadiyah, tanfidz oleh pimpinan wilayah, mengikat warganya pada wilayah yang bersangkutan, demikian pula oleh pimpinan daerah,  mengikat daerahnya semata.
Semua yang telah ditanfidzkan masih tetap terbuka untuk diadakan tinjauan ulang. Jika dikemudian hari ditemukan dalil dan istinbath yang lebih baik, maka dengan melalui mekanisme organisatoris seperti di atas, hal-hal yang telah ditanfidzkan dikaji ulang, kemudian diubah sesuai dengan penemuan tersebut. Dengan demikian, segala keputusan tersebut tidak kemudian menjelma menjadi suatu madzhab yang senantiasa berwatak dasar  mempertahankan status quo dan melahirkan fanatisme. Bahkan untuk membentengi dari fanatisme, sikap menyalahkan tidak boleh ada terhadap pandangan yang berbeda dari hasil tarjih yang didapatkan dari istinbath yang dilakukan majlis ini.

G. Penutup

Memahami dan melakukan kajian terhadap Majlis Tarjih dan Tajdid dengan berbagai aspeknya menjadi demikian signifikan bagi warga   Muhammadiyah, juga bagi orang lain yang bermaksud memahaminya.  Dengan pemahaman dan kajian tersebut diharapkan  dapat menangkap esensi  Muhammadiyah, sebagai gerakan ideologis keagamaan transendental yang berada di atas gerakan organisatoris pragmatis profan.  Semoga makalah ini ada manfaatnya. Amin Ya Rabb al-‘Alamin. 
Malang, 29 Maret 2013.           


*Makalah disampaikan dalam acara Workshop PPUT, di UMM ,  Malang, 29 Maret 2013.
**Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah  Jawa Timur, Dosen Tetap di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Dosen Tidak Tetap di Pascasarjana :  Institut Keislaman Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang., Unair Surabaya, disamping di pasca universitas sendiri.  Alamat: Vila Bukit Sengkaling AF 13 Landungsari Dau  Malang, Tlp. 0341 532215  HP. 08123 385138.
[1]Bagian ini dielaborasi dari makalah yang ditulis oleh HM Djuawaini 7 R.Awwal 1405 H (Makalah tidak diterbitkan), dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan terakhir.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar