MAJLIS TARJIH DAN TAJDID: MANHAJ
DAN APLIKASINYA*
Bismillah al-Rahman al-Rahim
A. Pendahuluan
Sebagai sebuah organisasi
Islam yang sangat besar, Muhammadiyah banyak menarik minat orang. Latar
belakang ketertarikan tersebut bermacam-macam dari yang bersifat ideologis,
sampai yang bercorak pragmatis, dari
yang sakral sampai yang profan. Bagi
mereka yang tertarik dan menjadi bagian organisasi ini yang memandang
Muhammadiyah sebagai ideologi keagamaan
yang sakral, segala bentuk formalitas
organisatoris merupakan suatu yang sekunder bukan primer. Bagi mereka
ini yang bersifat primer adalah ideologi keagamaan Muhammadiyah itu sendiri,
dalam arti bahwa jalan kebenaran adalah semata-mata mengikuti teladan Nabi
Muhammad saw, mengingat muhammadiyyah itu sendiri berarti upaya
menisbatkan diri kepada beliau, sebagai antitesa terhadap segala penisbatan
diri kepada yang lain, seperti Malikiyyah, Syafi’iyyah dan sebagainya. Tentu
saja disamping ini ada pula yang tertarik dan menjadi bagian warga Muhammadiyah
bukan karena latar belakang ideologi keagamaan ini.
Oleh karena esensi dari
gerakan Muhammadiyah adalah menyampaikan ideologi keagamaan tersebut, maka lebih penting menjadikan ideologi ini sebagai
ukuran kemuhammadiyahan seseorang dari pada ukuran formalitas organisatoris.
Hal ini juga berarti bahwa upaya untuk menyebarkan, menjelaskan dan menanamkan
ideologi ini jauh lebih penting dari pada
mengurus formalitas organisatoris. Kegagalan menanamkan ideologi ini,
menyebabkan Muhammadiyah kehilangan
esensinya, kemudian yang tinggal hanya dimensi lahiriahnya belaka. Upaya untuk
memelihara ideologi keagamaan Muhammadiyah ini kemudian dilembagakan dengan
membentuk Majlis Tarjih yang dalam perkembangan terakhir sejak mu’tamar ke 43
di Aceh disempurnakan menjadi Majlis tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Pada Mu’tamar berikutnya, berganti menjadi Majlis Tarjih dan Tajdid.
Dalam kontek demikian, menjadi
sangat penting bagi warga Muhammadiyah untuk memahami hal-hal yang berkaitan
dengan majlis tersebut, lebih-lebih jika warga tersebut adalah para pendidik
yang bertugas di institusi pendidikan Muhammadiyah. Bagi mereka yang berada
diluar Muhammadiyah jika ingin memahami organisasi ini, kiranya juga penting
untuk memahami majlis ini, sebagai élan vital dan ruh Muhammadiyah itu sendiri.
B. Sejarah Singkat Majlis Tarjih dan
Tajdid[1]
Dalam
Konggres Muhammadiyah ke-16 pada tahun 1927 di Pekalongan KH Mas Mansur al-Marhum
yang ketika itu menjabat sebagai konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya
mengusulkan agar didirikan semacam majlis ulama yang secara khusus bertugas
membahas masalah-masalah agama. Usul
tersebut berdasarkan pertimbangan adanya kekhawatiran timbul perpecahan di
kalangan orang-orang Muhammadiyah , terutama ulama’nya karena perbedaan paham
dalam masalah-masalah hukum agama. Perbedaan-perbedaan demikian sebagaimana
terbukti dalam sejarah telah menyebabkan pertentangan dan perpecahan di
kalangan umat Islam, terutama ulama’nya sehingga timbullah madzhab-madzhab dan
kefanatikan terhadapnya, sehingga meretakkan ukhuwah Islamiyah dan
menghancurkan persatuan umat Islam. Beliau juga khawatir kalau Muhammadiyah
sampai menyimpang dari hukum agama, karena mengejar kebesaran lahiriyah
mengabaikan tujuan utamanya. Akhirnya usul tersebut diterima secara aklamasi,
dan sejak itulah berdiri Majlis Tarjih - yang kemudian dalam Mu’tamar
Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam - sampai
sekarang ini.
Dalam Muktamar Muhamadiyah
ke-17 pada tahun 1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih
Pusat yang diketuai oleh KH. Mas Mansur
dan disekretarisi oleh Kh. Aslam Z.
dilengkapi dengan beberapa anggota pengurus. Dibuat pula anggaran dasar atau
qaidahnya antara lain berbunyi: Bahwa Tugas Majlis Tarjih adalah:
1. Mengamat-amati
perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama.
2.
Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau
menetapkan hukum masalah khilafiyah yang
diragukan hukumnya, yang memang penting dalam perjalanan Muhammadiyah.
3. Penyelidikan dan
pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan al-Quran dan al-Hadits dengan
berpedoman pada ushul fiqh yang dipandang mu’tabar, dan mementingkan riwayat
dan maknanya; tidak mengutamakan aql di atas naql.
Sejak
itu dilakukan identifikasi terhadap
berbagai masalah agama, seperti masalah ushalli, gambar, alat al-malahi (musik), kenabian
sesudah Nabi Muhammad saw. dalam kaitannya dengan klaim Ahmadiyah Qadhiyan
bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah adalah seorang nabi, dan sebagainya.
Muktamar
Tarjih yang pertama diadakan pada tahun 1929 bersama-sama dengan Konggres
Muhammadiyah ke-18 di Solo.
Masalah-masalah yang telah teridentifikasi tersebut, kemudian dibahas
dalam muktamar yang pertama ini, selanjutnya sisanya dikaji dalam
muktamar-muktamar berikutnya. Adapun masalah pertama yang diputuskan kemudian
disusun manjadi kitab, ialah kitab iman dan
sembahyang, kemudian disusul masail syatta (macam-macam masalah) seperti
masalah gambar, musik, lotre, api unggun, arak-arakan Aisyiyah dan sebagainya.
Demikian muktamar-demi muktamar – belakangan diubah dengan istilah musyawarah
nasional – dilakukan sehingga menghasilkan Himpunan Putusan Tarjih, dan
Qaidah-qaidahnya dan termasuk Qaidah Pengembangan Pemikiran Islam.
Struktur
Majlis tersebut mengalami beberapa kali
perubahan. Sedang sekarang ini Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
(MTPPI) secara struktural terdiri dari MTPPI Pusat, Wilayah, dan Daerah. Masing-masing berfungsi sebagai pembantu -
dan oleh karena itu berada di bawah - Pimpinan Muhamadiyah sesuai dengan
tingkatannya.
C. Manhaj al-Istinbath Majlis Tarjih
Dari sudut
pandang filosofis, cara-cara memperoleh hukum Islam merupakan kajian epistemologi.
Sedang hakikat hukum Islam dibahas dalam ontologi. Adapun kugunaannya,
merupakan wilayah pembahasan aksiologi. Hukum Islam itu sendiri, meliputi:
1.
Syari’at
2.
Fiqh.
3.
Fatwa
Ulama.
4.
Hukum
Produk Institusi Islam.
5. Pranata Hukum di
Masyarakat Islam.
Epistemologi
hukum Islam dikaji dalam ilmu Ushul al-Fiqh dan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
Disamping itu secara langsung atau tidak, juga dikaji melalui ‘Ulum al-Quran
dan ‘Ulum al-Hadits, bahkan juga melibatkan sejarah, seperti tampak dalam
Tarikh al-Tasyri’. Dewasa ini, bahkan ada kecenderungan untuk juga melibatkan
berbagai disiplin ilmu moderen sebagai sarana untuk memahami dan merumuskan
cara-cara memperoleh hukum Islam.
Majlis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam Muhamadiyah telah merumuskan secara dinamis aspek metodologis
tersebut dalam manhaj al-istinbathnya. Perumusannya dikatakan dinamis,
karena senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan masa. Perumusan aspek
metodologis tersebut, terakhir kali dilakukan dalam Munas Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 M. Di Jakarta.
D. Outline Manhaj
1.
Pengertian
Umum.
Bagian ini memuat pengertian ijtihad, maqashid
al-syari’ah, ittiba’, taqlid, talfiq, tarjih, al-sunnah al-maqbulah, ta’abbudi,
ta’aqquli, sumber hukum, qath’iyy al-wurud, , qath’iyy al-dalalah, dhanniyy
al-wurud, dhanniyy al-dalalah, tajdid, dan pemikiran.
2. Pengertian, Posisi,
Fungsi, Ruang Lingkup, Metode, Pendekatan, dan teknik Ijtihad.
3.
Ta’arudl
al-Adillah.
4.
Metode
Tarjih terhadap Nashsh.
E. Catatan terhadap Manhaj
1.
Dalam bagian Pengertian Umum, manhaj yang baru ini mengubah
istilah al-sunnah al-shahihah, menjadi al-sunnah al-maqbulah
sebagai sumber hukum sesudah al-Qur`an. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan
bahwa secara obyektif, majlis tidak hanya menggunakan hadits kategori shahih,
tetapi juga hasan. Dalam bagian ini juga dikemukakan bahwa Muhamadiyah
membolehkan talfiq yaitu menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan
syar’iy dengan syarat sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.
2.
Manhaj
menentukan posisi ijtihad sebagai metode bukan sumber hukum, sedang fungsinya
adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum
terumuskan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Ini berarti bahwa jika syari’at
dimaknai sebagai hukum yang secara langsung terdapat dalam kedua sumber di
atas, maka ijtihad dipergunakan untuk merumuskan hukum yang tidak terdapat
secara langsung dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dengan kata lain, ruang lingkup
ijtihad meliputi masalah-masalah yang terdapat dalam dalil yang dhanniy dan masalah-masalah yang
secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur`an dan atau al-Sunnah.
3.
Ijtihad
meliputi metode bayani yaitu metode yang menggunakan kaidah kebahasaan;
metode ta’lili, yaitu metode yang menggunakan pendekatan ‘illah hukum;
dan metode istishlahi, yaitu metode yang menggunakan pendekatan
kemaslahatan. Dalam hal ini manhaj tidak menjelaskan jika terjadi perbedaan
hasil penetapan hukum terhadap satu masalah karena adanya penggunaan metode
yang berbeda. Mana di antara ketiga metode tersebut yang diprioritaskan. Dalam
hal ini sebaiknya, untuk perkara yang akal manusia tidak dapat menjangkau
‘illah dan kemaslahatannya, metode bayani harus diprioritaskan.
4.
Manhaj
menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, yaitu:
hermeneutika, sejarah, sosiologis, dan antropologis.
5.
Sementara
itu, ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, serta ‘urf, dipandang sebagai
teknik penetapan hukum. Manhaj
tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang hal ini. Padahal, misalnya untuk
ijma’, jika dipandang sebagai teknik,
maka berarti Muhammadiyah dapat memutuskan suatu hukum berdasarkan
kesepakatan ulama-ulama persyarikatan. Ini tentu berbeda dengan pengertian
ijma’ yang dikenal dalam ilmu ushul fiqh yang menuntut kesepakatan seluruh ulama dalam suatu kurun waktu tertentu. Lain
halnya jika ijma’ dimaknai sebagai produk kesepakatan semua ulama dalam suatu kurun waktu, bukan sebagai
teknik, maka produk tersebut mengikat warga Muhammadiyah. Sekalipun istihsan
dan sadd al-dzari`ah tidak disebutkan, tampaknya tidak berarti keduanya
tidak dipakai. Hal ini didasarkan adanya kenyataan bahwa keduanya juga
didasarkan atas prinsip kemaslahatan yang dipandang sebagai salah satu metode
penetapan hukum.
6.
Ta’arudl
al-adillah menurut manhaj diselesaikan secara
hirarkis melalui al-jam’u wa al-taufiq; al-tarjih; al-naskh;
al-tawaqquf. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa dengan demikian Majlis
Tarjih secara tidak langsung mengakui adanya nasikh mansukh. Mengenai urutan
prioritas di atas, tampaknya perlu dipertimbangkan untuk mendahulukan naskh
sebelum menyelesaiakan ta’arudl melalui tarjih, karena jika diketahui batas
waktu berlakunya suatu hukum, maka dengan lewatnya waktu tersebut, berlakulah
hukum sebaliknya secara otomatis. Dengan demikian tidak perlu lagi kepada
tarjih.
7.
Tarjih
terhadap nashsh harus mempertimbangkan beberapa segi:
a.
segi sanad
( kualitas dan kuantitas rawi, bentuk dan sifat periwayatan, sighat tahammul
dan wa al-ada`
b.
segi
matan (mendahulukan sighat nahy daripada amr; shighat khashsh daripada
‘am).
c.
segi
materi hukum.
d.
Segi
eksternal.
8.
Untuk
hal-hal yang tidak diubah oleh manhaj hasil Munas Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 M di Jakarta, masih tetap berlaku.
Hal-hal yang tidak diubah tersebut ialah:
a.
Mendasarkan
akidah hanya kepada dalil mutawatir.
b. Pemahaman terhadap
al-Quran dan al-Sunnah dilakukan secara komprehensif dan integral.
c. Peran akal dalam
memahami teks al-Quran dan al-sunnah dapat diterima.
d. Qiyas tidak berlaku
dalam masalah ibadah mahdlah dan masalah yang sudah ada nashsh sharihnya dari
al-Quran dan atau al-Sunnah.
e. Untuk memahami nashsh
yang musytarak, paham shahabat dapat diterima.
f.
Mendahulukan makna dhahir daripada ta`wil dalam
bidang akidah, dan ta`wil shahabat tidak harus (? Pen.)
diterima.
g.
Takhshish
al-Kitab bi al-Sunnah dapat diterima.
h.
Hadits
mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali yang dihukumi marfu’.
i.
Hadits
mursal shahabiy dapat dijadikan hujjah.
j.
Hadits
mursal tabi’iy semata tidak dijadikan hujjah, kecuali jika terdapat petunjuk
adanya kebersambungan sanad.
k.
Hadits
mudallas tidak dapat dijadikan hujjah , kecuali apabila ada petunjuk bahwa
hadits tersebut muttashil.
l.
Hadits
dlaif yang kuat menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak
jalannya dan terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa hadits itu berasal dari
Nabi saw. dan tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan hadits shahih.
m.
Jika
terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil, didahulukan jarh dengan dasar
keterangan yang jelas dan sahih menurut syara’.
Sekalipun sudah agak memadai manhaj yang ditetapkan oleh Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam, tetapi jelas masih diperlukan berbagai
penyempurnaan dan kelengkapan yang dapat meliputi: koreksi terhadap adanya
kontradiksi satu sama lain; peninjauan
kembali terhadap beberapa manhaj;
penjabaran lebih jelas dan luas; dan sebagainya.
F. Mekanisme Pengambilan Keputusan Majlis Tarjih dan Tajdid
Terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan dalam perspektif
Islam, dibahas oleh majlis ini dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan,
menerapkan manhaj al-istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya, Hasil
keputusan majlis ini, kemudian diajukan ke pimpinan Muhammadiyah sesuai dengan
tingkatannya. Selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang memiliki otoritas untuk mentanfidzkan atau
tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki. Jika telah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut
mengikat secara organisatoris terhadap warga Muhammadiyah sesuai dengan
tingkatannya masing-masing, yakni tanfidz oleh pimpinan pusat, mengikat selurus
warga Muhammadiyah, tanfidz oleh pimpinan wilayah, mengikat warganya pada
wilayah yang bersangkutan, demikian pula oleh pimpinan daerah, mengikat daerahnya semata.
Semua yang telah ditanfidzkan masih
tetap terbuka untuk diadakan tinjauan ulang. Jika dikemudian hari ditemukan
dalil dan istinbath yang lebih baik, maka dengan melalui mekanisme
organisatoris seperti di atas, hal-hal yang telah ditanfidzkan dikaji ulang,
kemudian diubah sesuai dengan penemuan tersebut. Dengan demikian, segala
keputusan tersebut tidak kemudian menjelma menjadi suatu madzhab yang
senantiasa berwatak dasar mempertahankan
status quo dan melahirkan fanatisme. Bahkan untuk membentengi dari fanatisme,
sikap menyalahkan tidak boleh ada terhadap pandangan yang berbeda dari hasil
tarjih yang didapatkan dari istinbath yang dilakukan majlis ini.
G. Penutup
Memahami dan melakukan kajian terhadap Majlis Tarjih dan
Tajdid dengan berbagai aspeknya menjadi demikian signifikan bagi warga Muhammadiyah, juga bagi orang lain yang
bermaksud memahaminya. Dengan pemahaman
dan kajian tersebut diharapkan dapat
menangkap esensi Muhammadiyah, sebagai
gerakan ideologis keagamaan transendental yang berada di atas gerakan
organisatoris pragmatis profan. Semoga makalah ini ada
manfaatnya. Amin Ya Rabb al-‘Alamin.
Malang,
29 Maret 2013.
**Penulis
adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dosen Tetap di Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Dosen Tidak Tetap di Pascasarjana : Institut Keislaman Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.,
Unair Surabaya, disamping di pasca universitas sendiri. Alamat: Vila Bukit Sengkaling AF 13 Landungsari Dau Malang, Tlp. 0341 532215 HP. 08123 385138.
[1]Bagian ini dielaborasi dari makalah yang
ditulis oleh HM Djuawaini 7 R.Awwal 1405 H (Makalah tidak diterbitkan), dan
disempurnakan sesuai dengan perkembangan terakhir.